Ketegangan antara pemerintah desa dan pemerintah daerah kembali mencuat. Kali ini terjadi di Kabupaten Mojokerto, ketika audiensi perwakilan kepala desa dan perangkat desa dengan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Kabupaten Mojokerto berakhir tanpa kesepakatan. Kekecewaan massa pun memuncak. Aspirasi yang disuarakan tidak menemukan titik temu, sementara tuntutan terkait Alokasi Dana Desa (ADD) terus mengemuka.
Situasi ini membuka kembali diskusi publik yang lebih luas: apakah pengelolaan ADD selama ini sudah tepat sasaran dan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa?
ADD dan Perannya dalam Pembangunan Desa
Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota, yang dialokasikan untuk desa. ADD berbeda dengan Dana Desa (DD) yang bersumber dari APBN. Meski berbeda sumber, keduanya memiliki tujuan yang sama: memperkuat pemerintahan desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
ADD selama ini digunakan untuk:
-
Penghasilan tetap (siltap) kepala desa dan perangkat desa
-
Operasional pemerintahan desa
-
Kegiatan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat
Bagi desa, ADD bukan sekadar angka dalam anggaran, tetapi penopang utama roda pemerintahan desa.
Audiensi yang Berujung Kekecewaan
Audiensi yang dilakukan perwakilan kepala desa dan perangkat desa dengan Sekda Pemkab Mojokerto sejatinya diharapkan menjadi ruang dialog. Namun, harapan tersebut tidak terwujud. Tidak adanya kesepakatan atau kepastian kebijakan membuat kekecewaan massa memuncak.
Beberapa tuntutan utama yang disuarakan antara lain:
-
ADD dikembalikan seperti semula, sesuai dengan skema yang sebelumnya dianggap lebih berpihak pada kebutuhan desa.
-
Pemerintah kabupaten segera menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) terkait penghasilan tetap (siltap) kepala desa dan perangkat desa, agar tidak terjadi ketidakpastian hukum dan administratif.
Ketiadaan regulasi yang jelas dinilai berdampak langsung pada stabilitas pemerintahan desa.
Ketidakpastian Siltap dan Dampaknya
Siltap kepala desa dan perangkat desa bukan hanya persoalan kesejahteraan individu, tetapi juga menyangkut profesionalitas dan keberlangsungan pelayanan publik di tingkat desa. Ketika siltap tidak jelas atau terlambat, dampaknya bisa meluas:
-
Menurunnya motivasi aparatur desa
-
Terganggunya pelayanan administrasi kepada masyarakat
-
Potensi konflik internal di desa
Dalam konteks ini, tuntutan penerbitan Perbup bukanlah permintaan berlebihan, melainkan kebutuhan administratif yang mendesak.
ADD: Tepat Guna atau Perlu Evaluasi?
Di sisi lain, muncul pertanyaan yang juga layak diajukan kepada publik:
apakah ADD selama ini sudah digunakan secara tepat guna dan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa?
Pertanyaan ini penting karena:
-
ADD adalah dana publik
-
Pengelolaannya melibatkan aparatur desa
-
Dampaknya seharusnya dirasakan langsung oleh warga
Tidak dapat dipungkiri, di beberapa daerah, ADD telah membantu:
-
Menjaga operasional pemerintahan desa
-
Mendukung kegiatan sosial kemasyarakatan
-
Membiayai layanan dasar desa
Namun, di tempat lain, ADD juga kerap dipersoalkan terkait:
-
Transparansi penggunaan
-
Skala prioritas kegiatan
-
Minimnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan
Artinya, persoalan ADD bukan hitam-putih. Ada keberhasilan, tetapi juga ada ruang evaluasi.
Perspektif Pemerintah Daerah
Dari sisi pemerintah daerah, kebijakan pengelolaan ADD tentu tidak lepas dari keterbatasan fiskal, regulasi pusat, dan penyesuaian anggaran. Pemerintah kabupaten dihadapkan pada dilema:
-
Menjaga keseimbangan anggaran daerah
-
Memenuhi kebutuhan desa
-
Mematuhi aturan perundang-undangan
Namun, komunikasi yang kurang efektif dan minimnya kejelasan kebijakan berpotensi memperlebar jarak antara pemerintah daerah dan desa.
Pentingnya Dialog dan Transparansi
Situasi seperti di Mojokerto menunjukkan satu hal penting: desa ingin didengar. Aspirasi yang disampaikan bukan semata-mata soal dana, tetapi soal kejelasan, kepastian, dan penghargaan terhadap peran desa sebagai ujung tombak pemerintahan.
Dialog yang berkelanjutan, transparan, dan setara menjadi kunci untuk:
-
Mencegah konflik berkepanjangan
-
Menjaga stabilitas pemerintahan desa
-
Memastikan ADD benar-benar bermanfaat
Tanpa dialog, kebijakan berpotensi dipersepsikan sebagai keputusan sepihak.
ADD dan Masa Depan Desa
Desa bukan lagi objek pembangunan, melainkan subjek. Undang-Undang Desa telah memberikan ruang otonomi yang lebih besar. Dalam konteks ini, ADD seharusnya menjadi instrumen penguat, bukan sumber konflik.
Evaluasi penggunaan ADD perlu dilakukan secara terbuka, melibatkan:
-
Pemerintah desa
-
Pemerintah daerah
-
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
-
Masyarakat desa
Dengan demikian, ADD tidak hanya habis untuk operasional, tetapi juga memberi dampak nyata bagi warga.
Penutup: Desa Bersuara, Publik Bertanya
Peristiwa audiensi yang berakhir tanpa titik temu di Mojokerto adalah pengingat bahwa persoalan desa tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan sepihak. ADD yang dipersoalkan mencerminkan kebutuhan akan kebijakan yang adil, transparan, dan komunikatif.
Kini pertanyaannya kembali kepada publik:
apakah ADD selama ini sudah tepat guna dan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa?
Perbedaan pendapat adalah hal wajar. Yang terpenting, diskusi publik tetap berjalan secara sehat, berbasis data, dan mengedepankan kepentingan masyarakat desa.
Karena pada akhirnya, desa bukan hanya penerima kebijakan, tetapi fondasi utama pembangunan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar