Isu pemberian izin tambang kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan kembali memantik perdebatan nasional. Kali ini, sorotan tajam datang dari Yenny Wahid, putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang secara terbuka mengungkap dugaan politisasi izin tambang terhadap Nahdlatul Ulama.
Pernyataan tersebut disampaikan Yenny Wahid dalam momentum sakral Haul ke-16 Gus Dur yang digelar di Pesantren Tebuireng, Rabu (17/9/2025). Di hadapan ribuan jamaah dan tokoh nasional, Yenny menyampaikan peringatan keras agar NU tidak terseret dalam pusaran kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan.
Izin Tambang dan Bayang-Bayang Kepentingan Politik
Yenny Wahid mengungkap adanya seorang menteri yang disebut “ngotot” mendorong pemberian izin pengelolaan tambang kepada NU. Menurutnya, dorongan tersebut bukan sekadar soal kemandirian ekonomi ormas, melainkan sarat kepentingan politik agar NU terafiliasi dengan partai atau kekuatan politik tertentu.
Dalam pandangan Yenny, skema ini berbahaya karena menjadikan ormas keagamaan sebagai alat legitimasi kekuasaan. “NU harus waspada. Jangan sampai dibungkus dengan dalih kemandirian ekonomi, tetapi ujung-ujungnya adalah kompromi politik,” tegasnya.
Pernyataan ini sekaligus menghidupkan kembali kritik lama terhadap kebijakan negara yang membuka peluang pengelolaan sumber daya alam, termasuk tambang, kepada ormas keagamaan.
NU sebagai Kekuatan Moral, Bukan Alat Ekonomi-Politik
Yenny menegaskan bahwa sejak awal, NU dibangun sebagai kekuatan moral, sosial, dan keagamaan. Peran historis NU dalam perjuangan bangsa, pendidikan, hingga penguatan nilai kebangsaan tidak pernah bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam.
Menurutnya, keterlibatan langsung ormas keagamaan dalam bisnis tambang berpotensi menggerus independensi dan nilai perjuangan. Ketika ormas masuk ke sektor yang sarat konflik kepentingan, maka suara kritis terhadap kekuasaan bisa melemah.
“Kalau ormas sudah bergantung pada izin negara dan elite politik, bagaimana mungkin ia tetap bebas mengkritik kebijakan yang tidak adil?” ujar Yenny dalam pidatonya.
Polemik Kebijakan Izin Tambang untuk Ormas
Polemik izin tambang untuk ormas mencuat seiring terbitnya regulasi seperti PP 25 Tahun 2024 dan Perpres 76 Tahun 2024, yang membuka jalan bagi ormas keagamaan untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan (WIUP).
Pemerintah beralasan kebijakan ini bertujuan memperkuat kemandirian ekonomi ormas serta pemerataan pengelolaan sumber daya alam. Namun di sisi lain, kebijakan ini memicu kritik luas dari akademisi, aktivis lingkungan, dan masyarakat sipil.
Mereka menilai kebijakan tersebut rawan disalahgunakan sebagai alat politik balas budi, sekaligus membuka potensi konflik kepentingan antara agama, lingkungan, dan kekuasaan.
Agama, Tambang, dan Risiko Kerusakan Lingkungan
Tambang bukan sekadar urusan ekonomi. Ia membawa konsekuensi ekologis dan sosial yang serius: kerusakan lingkungan, konflik lahan, hingga penderitaan masyarakat sekitar.
Yenny Wahid menyinggung bahwa ketika ormas keagamaan terlibat langsung dalam pengelolaan tambang, risiko moral menjadi sangat besar. Ormas bisa berada dalam posisi dilematis: antara menjaga lingkungan dan masyarakat, atau mempertahankan kepentingan ekonomi yang telah terikat kontrak dan izin.
Situasi ini dinilai bertentangan dengan ajaran keadilan sosial dan keberpihakan kepada kaum lemah yang selama ini menjadi ruh perjuangan NU dan nilai-nilai Gus Dur.
Warisan Gus Dur dan Independensi NU
Dalam Haul ke-16 Gus Dur, pesan Yenny terasa kuat karena berakar pada warisan pemikiran ayahnya. Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang konsisten menjaga jarak antara agama dan kekuasaan yang pragmatis.
Bagi Gus Dur, agama harus menjadi kekuatan etis yang mengoreksi kekuasaan, bukan justru larut di dalamnya. Oleh karena itu, Yenny menilai bahwa menjaga independensi NU adalah bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai yang diwariskan Gus Dur.
“Kalau Gus Dur masih hidup, beliau pasti akan mengingatkan agar NU tidak tergoda oleh kekuasaan yang merusak moral,” ujar Yenny.
Respons Publik dan Sorotan Nasional
Pernyataan Yenny Wahid segera memantik respons luas di ruang publik. Media nasional, aktivis, dan warganet ramai membahas isu ini sebagai alarm serius terhadap masa depan ormas keagamaan di Indonesia.
Sebagian pihak mendukung penuh sikap kritis Yenny dan menilai keberanian tersebut penting untuk mencegah politisasi agama. Namun ada pula yang berpendapat bahwa pengelolaan tambang bisa menjadi peluang ekonomi jika dikelola secara transparan dan profesional.
Meski demikian, kritik utama tetap mengemuka: apakah ormas mampu benar-benar independen jika izin dan keberlangsungan ekonominya bergantung pada kekuasaan politik?
Izin Tambang: Kemandirian atau Kompromi?
Pertanyaan besar yang kini menggantung adalah: izin tambang untuk ormas keagamaan, apakah benar jalan menuju kemandirian, atau justru pintu masuk kompromi politik?
Yenny Wahid dengan tegas memilih sikap waspada. Baginya, kemandirian sejati ormas tidak boleh dibangun di atas struktur yang rawan intervensi kekuasaan dan merusak lingkungan.
Isu ini bukan sekadar soal NU, tetapi tentang masa depan relasi agama, negara, dan sumber daya alam di Indonesia. Publik kini menanti: akankah peringatan ini didengar, atau justru tenggelam dalam hiruk-pikuk kepentingan politik jangka pendek?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar