Isu penanganan bencana di Sumatera kembali mengguncang opini publik. Namun kali ini, suara paling lantang justru datang dari kelompok yang sering dianggap “terlalu muda untuk mengerti”—yakni generasi Z. Dalam sebuah talkshow televisi nasional, seorang perwakilan Gen Z menyampaikan kritik terbuka terhadap cara negara menangani bencana yang terjadi di berbagai wilayah Sumatera. Pernyataan itu viral, menyebar ke media sosial, dan memicu rangkaian diskusi yang lebih besar: apakah generasi muda sudah kehilangan kepercayaan pada pemerintah?
Kritik yang disampaikan tidak muncul dari ruang kosong. Beberapa tahun terakhir, isu lingkungan dan bencana alam menjadi perhatian utama karena dampaknya yang semakin sering dan semakin besar. Di Sumatera, banjir bandang, longsor, serta kerusakan hutan terus terjadi, meninggalkan jejak kerugian materi, trauma, dan pertanyaan besar tentang arah kebijakan negara.
Generasi Z, yang tumbuh di tengah informasi digital dan keterbukaan data, melihat pola yang menurut mereka tak lagi bisa ditoleransi: minimnya langkah konkret, kebingungan kebijakan publik, serta indikasi korupsi lingkungan yang tak kunjung tuntas. Suara mereka semakin kuat, dan kini, semakin banyak yang mendengarkan.
Minimnya Langkah Konkret Penanganan Bencana
Dalam talkshow tersebut, sang narasumber Gen Z menyoroti bahwa penanganan bencana di Sumatera sering kali “seolah-olah mendadak”, padahal risiko bencana di banyak wilayah sudah dipetakan sejak lama. Menurutnya, negara terlihat lebih banyak bereaksi daripada mencegah.
Beberapa poin yang ia tekankan antara lain:
-
Kurangnya kesiapan pemerintah daerah dan pusat
-
Sistem peringatan dini yang tidak optimal
-
Perbaikan infrastruktur mitigasi yang lambat
-
Koordinasi teknis yang tidak terstruktur
Ia menegaskan bahwa masyarakat bukan hanya butuh respons cepat saat bencana terjadi, tetapi juga butuh kepastian bahwa negara melakukan tindakan nyata untuk mencegah hal serupa terulang.
Isu Korupsi Lingkungan yang Tak Kunjung Tuntas
Salah satu pernyataan paling kontroversial yang ia sampaikan adalah tentang korupsi lingkungan. Ia mempertanyakan mengapa kasus-kasus besar yang berkaitan dengan:
-
eksploitasi hutan,
-
penyalahgunaan izin tambang,
-
pembukaan lahan ilegal, dan
-
kelalaian industri
sering berujung pada proses hukum yang stagnan.
Generasi Z, menurutnya, bukan hanya ingin mendengar janji pengawasan ketat, tetapi ingin melihat bukti nyata bahwa para pelaku kejahatan lingkungan ditindak tegas.
Kebijakan Publik yang Membingungkan Generasi Muda
Kritik lainnya adalah soal inkonsistensi kebijakan. Di satu sisi, negara berbicara tentang pembangunan berkelanjutan. Namun di sisi lain, izin-izin yang berpotensi merusak lingkungan tetap diterbitkan.
Hal ini membuat generasi muda merasa bahwa:
-
kebijakan negara saling bertabrakan,
-
komitmen pemerintah tidak jelas arahnya,
-
masyarakat sulit memahami prioritas yang sebenarnya.
Kebingungan ini yang kemudian memengaruhi tingkat kepercayaan publik, terutama dari generasi muda yang mengonsumsi informasi dari banyak sumber secara cepat.
Masalah Kepercayaan: Mengapa Gen Z Merasa Tidak Dilindungi?
Dalam kritikan tersebut, ia menyampaikan pertanyaan yang kini menjadi viral:
“Kami generasi muda yang akan hidup lebih lama dari kalian—kenapa kami justru tidak mendapat perlindungan maksimal dari negara?”
Pernyataan itu memukul banyak pihak karena menyentuh inti diskusi:
Gen Z merasa mereka adalah kelompok yang akan paling lama menanggung dampak dari kebijakan yang buruk di masa kini.
Beberapa alasan mengapa kepercayaan itu menurun:
-
Bencana berulang di lokasi yang sama tanpa solusi permanen
-
Transparansi dana penanganan bencana yang dianggap kurang
-
Minimnya pelibatan generasi muda dalam pembuatan kebijakan
-
Masih kuatnya ego sektoral dalam proyek lingkungan
Generasi muda ingin negara hadir bukan hanya saat situasi sudah terlanjur buruk, tetapi sebelum itu terjadi.
Deforestasi, Bisnis Karbon, dan Tata Ruang: Core Isu yang Disentil Gen Z
Selain penanganan bencana, ia menyinggung persoalan yang lebih besar namun jarang dibahas secara terbuka oleh generasi sebelumnya: deforestasi dan bisnis karbon.
Menurutnya:
-
Deforestasi tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga memperbesar risiko bencana seperti banjir bandang.
-
Bisnis karbon yang dikelola tanpa pengawasan ketat berpotensi menjadi lahan baru untuk penyalahgunaan wewenang.
-
Tata ruang daerah banyak yang tidak memperhitungkan bencana, hanya mengejar investasi.
Ia menegaskan bahwa selama tata kelola lingkungan tidak berbenah, bencana di Sumatera atau wilayah lain akan selalu berulang.
Viral dan Memicu Diskusi Nasional
Setelah pernyataan tersebut ditayangkan, potongan videonya langsung menyebar luas di TikTok, Instagram, dan X. Banyak yang mendukung karena merasa suara Gen Z selama ini terlalu sering diremehkan. Ada pula yang menganggap kritik itu terlalu keras.
Namun satu hal yang pasti:
isu lingkungan dan penanganan bencana kini kembali masuk radar publik.
Akademisi, aktivis, jurnalis, dan masyarakat umum ikut memberikan pandangan masing-masing. Diskusi berkembang dari sekadar kritik menjadi pembahasan mendalam tentang masa depan lingkungan Indonesia.
Harapan Generasi Z untuk Negara
Meski kritiknya terdengar pedas, pesannya bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk mengingatkan.
Generasi Z berharap:
-
negara lebih transparan,
-
kebijakan lebih berpihak pada keselamatan masyarakat,
-
penegakan hukum lingkungan benar-benar tegas,
-
perencanaan bencana tidak hanya bersifat seremonial,
-
dan pemerintah tidak alergi pada kritik publik.
Mereka ingin masa depan yang lebih baik—bukan sekadar janji.
Kesimpulan: Saatnya Negara Mendengar Suara Gen Z
Kritik keras dari perwakilan Gen Z ini bukan sekadar luapan emosi. Ia adalah refleksi dari kegelisahan generasi muda terhadap masa depan bumi tempat mereka akan hidup lebih lama. Viral atau tidak, kritik itu telah membuka pintu diskusi penting yang selama ini mungkin diabaikan.
Penanganan bencana bukan hanya tugas teknis, tetapi juga cermin kualitas pemerintahan. Jika negara ingin membangun kepercayaan publik, terutama dari generasi yang akan menjadi tulang punggung negeri dalam beberapa dekade mendatang, maka kritik seperti ini bukan untuk dihindari, melainkan untuk dijadikan bahan pembenahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar