Pernyataan Dewi Persik terkait bencana di Aceh dan Lumajang mendadak memicu gelombang reaksi publik. Banyak yang terdiam, tak sedikit pula yang geram. Bukan semata karena siapa yang bicara, tetapi apa yang dibicarakan dan bagaimana cara membingkai penderitaan rakyat.
Aceh disebut “berisik” karena telah tiga kali dikunjungi Prabowo Subianto dan menerima bantuan. Sementara Lumajang dinilai lebih pantas dikasihani karena erupsi Gunung Semeru terjadi berulang kali. Kalimat ini terdengar sederhana, namun dampaknya dalam: penderitaan rakyat seolah diukur dari frekuensi kunjungan pejabat.
Sejak Kapan Derita Rakyat Diukur dari Kunjungan Pejabat?
Pertanyaan inilah yang menggema di ruang publik. Apakah arti sebuah bencana berkurang hanya karena presiden atau pejabat datang berkali-kali? Apakah rasa sakit korban otomatis terobati oleh kunjungan simbolik?
Bagi warga yang rumahnya hanyut, ladangnya rusak, dan keluarganya terancam, kunjungan pejabat bukanlah solusi utama. Yang mereka butuhkan adalah:
-
keamanan jangka panjang
-
pemulihan lingkungan
-
keadilan atas kerusakan yang terjadi
-
jaminan hidup yang layak
Kehadiran pejabat penting, tetapi bukan ukuran penderitaan, apalagi alasan untuk membungkam suara korban.
Aceh Bukan “Berisik”, Aceh Sedang Tenggelam
Menyebut Aceh “berisik” adalah bentuk penyederhanaan yang menyakitkan. Aceh bukan ribut tanpa sebab. Aceh berteriak karena tenggelam.
Ketika banjir datang berulang kali, ketika gelondongan kayu menyapu rumah warga, ketika sungai meluap membawa lumpur dan potongan hutan, itu bukan drama. Itu tanda alam yang rusak parah.
Banjir di Aceh tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan:
-
deforestasi
-
pembalakan hutan
-
konflik lahan
-
eksploitasi sumber daya alam
-
lemahnya penegakan hukum lingkungan
Suara Aceh adalah alarm, bukan kebisingan.
Membandingkan Aceh dan Lumajang: Empati yang Keliru Arah
Lumajang dengan erupsi Gunung Semeru jelas mengalami penderitaan luar biasa. Tidak ada yang menyangkal itu. Namun membandingkan dua tragedi berbeda untuk menentukan siapa yang “lebih pantas dikasihani” adalah pendekatan yang keliru.
Bencana bukan kompetisi. Tidak ada podium penderitaan. Tidak ada medali untuk korban paling menderita.
Erupsi gunung api adalah fenomena alam, sementara banyak banjir dan longsor terjadi akibat campur tangan manusia terhadap alam. Menyamakan atau mempertentangkan keduanya tanpa konteks justru menutup akar masalah.
Ketika Alam Diperkosa, Rakyat yang Menanggung Akibat
Aceh adalah contoh nyata bagaimana kerusakan lingkungan berdampak langsung pada kehidupan rakyat. Hutan yang gundul tidak lagi mampu menahan air. Sungai kehilangan daya tampung. Ketika hujan turun, bencana tak terelakkan.
Ironisnya, yang paling menderita bukan para pemodal atau pelaku eksploitasi, melainkan warga kecil:
-
petani
-
nelayan
-
buruh
-
anak-anak
-
lansia
Mereka bukan minta dikasihani. Mereka menuntut keadilan.
Bencana Bukan Lomba Simpati
Narasi “siapa lebih kasihan” adalah jebakan berbahaya. Ia mengalihkan fokus dari akar persoalan menuju adu emosi. Padahal yang dibutuhkan adalah:
-
evaluasi kebijakan lingkungan
-
penghentian eksploitasi berlebihan
-
pemulihan ekosistem
-
perlindungan masyarakat adat dan lokal
Selama kebijakan tidak berubah, bencana akan terus berulang — baik di Aceh, Lumajang, maupun daerah lain di Indonesia.
Kritik Bukan Berarti Tidak Berterima Kasih
Mengkritik bukan berarti tidak menghargai bantuan atau kunjungan pejabat. Kritik muncul justru karena rakyat ingin hidup lebih aman di masa depan, bukan sekadar bertahan hari ini.
Aceh bersuara karena belajar dari pengalaman. Diam berarti menerima nasib. Bersikap kritis adalah bentuk kepedulian terhadap generasi mendatang.
Jangan Bungkam Suara Orang yang Sedang Tenggelam
Ketika korban bersuara, tugas publik bukan menyuruh mereka diam, apalagi melabeli mereka “berisik”. Tugas kita adalah mendengar, memahami, dan menuntut perubahan.
Membungkam suara korban sama saja dengan membiarkan mereka tenggelam dua kali:
pertama oleh bencana,
kedua oleh ketidakpedulian.
Lebih Penting Mana: Kunjungan atau Perubahan?
Pertanyaan akhirnya sederhana namun mendasar:
lebih penting berapa kali presiden datang,
atau kenapa rakyat terus jadi korban?
Jika kunjungan tidak diikuti perubahan kebijakan, maka bencana akan terus berulang. Jika empati hanya berhenti di kata-kata, maka luka rakyat tak akan sembuh.
Penutup: Aceh Menuntut Keadilan, Bukan Simpati Murahan
Aceh tidak meminta dikasihani. Lumajang juga tidak. Yang diminta rakyat Indonesia hanyalah satu: keadilan dan perlindungan yang nyata.
Bencana bukan panggung opini. Ia adalah cermin kebijakan dan nurani.
💬 Bagaimana pendapat Anda?
Lebih penting kehadiran simbolik, atau pembenahan akar masalah?
Komentar bebas, tapi jangan matikan suara orang yang sedang tenggelam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar