Belakangan ini, ruang publik ramai memperbincangkan kabar bahwa liputan bencana oleh reporter CNN disebut-sebut di-take down. Di saat yang hampir bersamaan, berbagai media internasional justru menyoroti perhatian Presiden terhadap pelestarian hutan tropis Brasil. Dua peristiwa ini memunculkan pertanyaan besar di benak publik Indonesia: mengapa isu lingkungan dan bencana ekologis di dalam negeri terasa kurang mendapat sorotan global?
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan hutan tropis terbesar di dunia. Namun, di balik predikat tersebut, laju deforestasi, konflik lahan, banjir, longsor, hingga kebakaran hutan terus berulang dari tahun ke tahun. Berita memang ada, tetapi gaungnya seolah tenggelam dibandingkan isu lingkungan di negara lain. Fenomena inilah yang kini dipertanyakan masyarakat.
Media Global dan Penentuan Isu
Media global seperti CNN memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini internasional. Isu yang mereka angkat kerap menjadi perhatian dunia, memicu respons pemerintah, organisasi internasional, hingga investor. Namun, pemilihan isu tentu tidak terjadi di ruang hampa. Ada pertimbangan editorial, kepentingan geopolitik, serta daya tarik global yang memengaruhi sebuah berita layak mendapat sorotan luas atau tidak.
Ketika liputan bencana di Indonesia tidak bertahan lama di media internasional, publik mulai curiga: apakah ada tekanan tertentu, atau sekadar kalah bersaing dengan isu lain yang dianggap lebih strategis? Pertanyaan ini wajar, mengingat dampak bencana ekologis di Indonesia tidak hanya berskala lokal, tetapi juga global, terutama terkait perubahan iklim.
Brasil dan Simbol Hutan Dunia
Hutan Amazon di Brasil sering disebut sebagai paru-paru dunia. Kerusakan di wilayah tersebut dipandang langsung mengancam keseimbangan iklim global. Karena itu, setiap pernyataan atau kebijakan terkait Amazon hampir selalu mendapat sorotan besar dari media internasional.
Di sisi lain, hutan Indonesia, meski luas dan penting, kerap dipersepsikan sebagai isu regional. Padahal, kontribusi hutan Indonesia terhadap penyerap karbon dunia juga sangat signifikan. Perbedaan persepsi inilah yang diduga membuat isu Brasil lebih mudah “menjual” di panggung global dibandingkan isu lingkungan Indonesia.
Konflik Lahan dan Bencana Ekologis
Di dalam negeri, masyarakat terus berhadapan dengan konflik lahan antara warga, korporasi, dan negara. Pembukaan hutan untuk perkebunan, tambang, dan proyek infrastruktur sering berujung pada kerusakan lingkungan. Dampaknya nyata: banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, hingga hilangnya sumber penghidupan masyarakat adat.
Sayangnya, banyak dari peristiwa ini hanya menjadi berita sesaat. Setelah viral beberapa hari, perhatian publik dan media meredup. Tanpa tekanan internasional yang kuat, upaya penanganan sering berjalan lambat dan berulang pada pola yang sama.
Apakah Isu Dalam Negeri Kalah Penting?
Pertanyaan yang muncul di ruang publik bukan sekadar soal media, tetapi juga soal posisi Indonesia di panggung global. Apakah isu lingkungan di Indonesia dianggap kalah penting, atau kalah kuat secara narasi dan diplomasi?
Sebagian pengamat menilai Indonesia belum maksimal membangun narasi global tentang krisis lingkungannya. Data, laporan, dan suara korban sering tidak terintegrasi dalam kampanye internasional yang konsisten. Akibatnya, dunia tidak melihat urgensi yang sama seperti ketika membahas Amazon atau isu lingkungan di negara maju.
Peran Pemerintah dan Diplomasi Lingkungan
Pemerintah sebenarnya memiliki peran strategis dalam mengangkat isu lingkungan ke tingkat global. Diplomasi lingkungan, kerja sama internasional, dan keterbukaan data menjadi kunci. Ketika pemerintah lebih fokus pada citra positif tanpa diimbangi pengakuan terhadap masalah di lapangan, publik global bisa kehilangan konteks yang utuh.
Perhatian Presiden terhadap pelestarian hutan tropis di luar negeri tentu patut diapresiasi. Namun, publik berharap perhatian yang sama juga tercermin kuat dalam penanganan krisis lingkungan di dalam negeri, baik melalui kebijakan tegas maupun komunikasi global yang jujur.
Media Nasional dan Suara Rakyat
Di tengah minimnya sorotan global, media nasional memegang peran penting. Media lokal sering menjadi satu-satunya corong bagi masyarakat terdampak bencana dan konflik lahan. Sayangnya, daya jangkau media nasional ke publik internasional masih terbatas.
Di era digital, suara rakyat sebenarnya bisa menembus batas negara melalui media sosial. Namun, tanpa dukungan data dan liputan mendalam, isu tersebut mudah tenggelam di tengah arus informasi global yang sangat padat.
Ketimpangan Perhatian Global
Ketimpangan perhatian global terhadap isu lingkungan bukan hal baru. Negara berkembang sering kali harus berjuang lebih keras agar krisis yang mereka alami diakui dunia. Faktor ekonomi, politik, dan kepentingan pasar global kerap memengaruhi seberapa besar sebuah isu mendapat sorotan.
Indonesia berada di persimpangan penting: menjadi pemain utama dalam isu lingkungan global atau terus berada di posisi reaktif. Pilihan ini akan menentukan apakah bencana ekologis di dalam negeri terus dianggap sebagai masalah lokal, atau diakui sebagai bagian dari krisis global.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Pertanyaan publik tentang liputan CNN, perhatian terhadap Brasil, dan minimnya gaung isu Indonesia mencerminkan kegelisahan yang lebih dalam. Ini bukan sekadar soal satu media atau satu peristiwa, melainkan soal bagaimana isu lingkungan Indonesia diposisikan di mata dunia.
Apakah isu dalam negeri kalah penting, atau kalah kuat di panggung global? Jawabannya mungkin kombinasi dari keduanya. Tanpa narasi kuat, diplomasi aktif, dan tekanan publik yang konsisten, krisis lingkungan Indonesia akan terus berada di pinggir perhatian global.
Yang jelas, suara masyarakat tidak boleh berhenti. Karena perubahan sering kali dimulai dari pertanyaan kritis yang terus diulang hingga akhirnya didengar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar