Lintas Fakta News – portal berita viral, nasional, teknologi, dan review aplikasi penghasil uang 2025 yang terbaru dan terpercaya.

Banjir Bandang & Longsor di Sumatera: Antara Deforestasi, Sawit, dan Beban Pemulihan Rp51 Triliun

Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali membuka diskusi panjang mengenai kerusakan ekologis di pulau yang selama ini dikenal sebagai “paru-paru barat Indonesia”. Dengan intensitas hujan yang tinggi, topografi yang rawan, serta perubahan bentang alam akibat aktivitas manusia, bencana di Sumatera bukan lagi sekadar fenomena alam. Banyak pengamat lingkungan menilai bahwa banjir dan longsor ini merupakan hasil akumulasi dari berbagai aktivitas yang merusak ekosistem di hulu, terutama deforestasi, tambang ilegal, dan ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkontrol.

Di tengah kondisi yang memprihatinkan ini, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut sawit sebagai “karunia besar” kembali memicu perdebatan publik. Muncul pertanyaan kritis: apakah manfaat ekonomi sawit benar-benar sepadan dengan dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkannya? Atau justru kita sedang membayar harga mahal dari kebijakan yang tidak menjaga keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan?


1. Bencana Sumatera: Alam Berbicara atau Alarm Keras dari Ekosistem yang Rusak?

Banjir bandang yang terjadi di Aceh dan longsor besar di Sumatera Barat dan Sumatera Utara bukanlah kejadian pertama, dan besar kemungkinan bukan yang terakhir. Menurut pakar lingkungan, intensitas bencana yang meningkat seharusnya menjadi indikator kuat bahwa ada yang salah secara struktural pada pengelolaan lahan.

Dalam beberapa tahun terakhir, data menunjukkan bahwa deforestasi di Sumatera terus meningkat, baik secara legal maupun ilegal. Hutan-hutan lindung di sejumlah kabupaten mengalami penyusutan signifikan. Lahan yang dulunya menyerap air kini berubah menjadi area terbuka yang tidak mampu menahan curah hujan ekstrem. Di banyak tempat, hutan digantikan oleh kebun sawit dan permukiman.

Tambang ilegal di kawasan hulu sungai juga memperparah kondisi. Material tambang yang dibuang sembarangan menyebabkan sungai-sungai dangkal, sehingga mudah meluap saat hujan deras. Longsor pun menjadi ancaman mematikan ketika lereng-lereng bukit kehilangan vegetasi yang berfungsi menjaga stabilitas tanah.


2. Ketika Sawit Disebut “Karunia”: Kontroversi Manfaat vs Kerusakan

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Prabowo menyebut bahwa sawit adalah “karunia besar” bagi Indonesia. Dari sisi ekonomi, pernyataan ini dapat dipahami. Sawit merupakan salah satu komoditas ekspor terbesar dan memberikan kontribusi signifikan terhadap devisa negara. Ratusan ribu keluarga menggantungkan hidup pada sektor perkebunan sawit.

Namun, tantangannya muncul ketika ekspansi sawit tidak diimbangi dengan regulasi pengelolaan lingkungan yang ketat. Banyak wilayah yang dulunya merupakan hutan primer kini berubah menjadi hamparan monokultur sawit. Ekosistem yang semula kaya dengan berbagai flora dan fauna hilang dalam waktu singkat.

Sejumlah aktivis lingkungan menilai bahwa perkebunan sawit dapat menjadi “karunia” hanya jika pengelolaannya berkelanjutan (sustainable). Tanpa itu, sawit justru menjadi bagian dari masalah besar: banjir, kekeringan, hilangnya biodiversitas, konflik lahan, dan kerusakan sosial.


3. Biaya Pemulihan Mencapai Rp51 Triliun: Beban Nyata atau Perhitungan Optimistis?

Pemerintah memperkirakan bahwa biaya pemulihan bencana di Sumatera bisa mencapai Rp51 triliun. Angka ini mencakup perbaikan infrastruktur, relokasi warga, rehabilitasi lahan, penataan sungai, hingga dukungan ekonomi bagi masyarakat terdampak.

Pemerintah menyatakan yakin bahwa kondisi fiskal Indonesia cukup kuat untuk menanggung biaya tersebut. Namun, sejumlah ekonom mempertanyakan apakah perhitungan tersebut realistis. Pasalnya, rehabilitasi ekosistem bukan hanya soal membangun ulang jalan yang rusak atau memperbaiki jembatan. Pemulihan hutan, restorasi sungai, penegakan hukum atas aktivitas ilegal, dan kompensasi sosial memerlukan waktu panjang dan dana besar.

Biaya ekologis jauh lebih berat dibandingkan biaya infrastruktur. Ketika hutan hilang, butuh puluhan tahun untuk kembali tumbuh. Ketika ekosistem rusak, butuh beberapa dekade untuk memulihkan fungsi alaminya.


4. Deforestasi: Akar Masalah yang Belum Tersentuh

Deforestasi masih menjadi persoalan inti. Berdasarkan pengamatan lembaga riset lingkungan, puluhan ribu hektare hutan di Sumatera hilang setiap tahun. Penyebab utamanya meliputi:

  • pembukaan lahan untuk sawit,

  • penebangan ilegal,

  • perluasan tambang,

  • dan alih fungsi kawasan hutan untuk pembangunan.

Keberadaan perusahaan sawit berskala besar di sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) membuat kawasan lindung semakin tertekan. Hutan yang seharusnya menjadi penyangga air sudah berubah fungsi.

Saat hutan hilang, kemampuan tanah menyerap air berkurang drastis. Air hujan langsung mengalir sebagai limpasan permukaan, membawa material lumpur dan batu yang kemudian memicu banjir bandang.


5. Tambang Ilegal: “Bom Waktu” yang Baru Meledak

Tambang emas ilegal dan tambang batuan di Sumut, Aceh, dan Sumbar menjadi masalah laten bertahun-tahun. Aktivitas ini merusak struktur tanah, menebang pohon secara masif, dan membuang limbah langsung ke aliran sungai.

Pemerintah seringkali menggelar operasi penertiban, namun penegakan hukum belum konsisten. Banyak yang menilai bahwa bencana besar seperti yang terjadi sekarang adalah “tagihan” dari kerusakan yang lama dibiarkan.


6. Perspektif Pakar: Apa Kata CELIOS?

Dalam program Teras Ekbis KompasTV, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, menegaskan bahwa ada hubungan kuat antara kebijakan ekonomi dan meningkatnya risiko bencana ekologis. Menurutnya:

  • Indonesia terlalu fokus pada nilai ekonomi jangka pendek,

  • sementara kerusakan jangka panjang tidak dihitung sebagai “biaya”,

  • dan tata kelola hutan tidak sejalan dengan tata kelola fiskal.

Ia menekankan pentingnya “ekonomi ekologis”, yaitu pendekatan yang mengukur nilai lingkungan sebagai faktor utama dalam kebijakan pembangunan.


7. Jalan Keluar: Bisakah Kita Mencegah Bencana Berikutnya?

Beberapa solusi yang direkomendasikan oleh para ahli meliputi:

a. Moratorium ketat pembukaan lahan baru untuk sawit dan tambang

Pemerintah perlu memastikan tidak ada area hutan lindung yang dialihfungsikan.

b. Penegakan hukum tanpa tebang pilih

Tambang ilegal harus ditutup permanen, dan aktor-aktornya harus ditindak.

c. Rehabilitasi DAS skala besar

Perlu program penanaman kembali hutan di kawasan rawan banjir.

d. Pengawasan berbasis teknologi (GIS, satelit, dan drone)

Agar kerusakan hutan dapat dipantau harian.

e. Edukasi dan pemberdayaan masyarakat lokal

Warga lokal harus menjadi penjaga hutan, bukan korban kebijakan.


8. Kesimpulan: Bencana Ini Mengajarkan Apa?

Banjir bandang dan longsor di Sumatera bukan hanya bencana alam—ini adalah peringatan besar bahwa tata kelola lingkungan kita belum optimal. Ketika hutan rusak, sungai tercemar, dan bukit-bukit digali tambang, bencana hanyalah soal waktu.

Ekonomi sawit memang memberikan manfaat, tetapi tanpa regulasi kuat, ia bisa membawa dampak besar yang melemahkan kehidupan sosial dan ekologis. Beban pemulihan Rp51 triliun hanyalah bagian kecil dari kerusakan yang harus ditanggung dalam jangka panjang.

Kini pertanyaannya bukan hanya “siapa yang salah”, tetapi apakah kita siap berubah sebelum bencana berikutnya datang?

 

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

📺 TV One Live Streaming

CARI BERITA DISINI

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Arsip Blog

Recent Posts

PASANG IKLAN HUBUNGI WA

📢 PASANG IKLAN DISINI

  • Banner / Teks Iklan
  • Ukuran Flexible
  • Harga Terjangkau

LADANG CUAN