Indonesia kembali berada di persimpangan penting dalam menentukan arah kebijakan nasional. Di tengah bencana alam yang belum usai di berbagai daerah, wacana besar justru mencuat dari pusat kekuasaan. Presiden terpilih Prabowo Subianto mendorong program swasembada energi melalui penanaman kelapa sawit untuk bahan bakar minyak (BBM), khususnya di Papua.
Gagasan ini langsung memantik perdebatan publik. Bukan semata soal energi atau investasi, tetapi tentang prioritas negara ketika ribuan warga masih berjuang bertahan hidup akibat bencana.
Indonesia dalam Bayang-Bayang Bencana
Hampir setiap tahun, Indonesia dihadapkan pada bencana alam. Banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi, hingga kebakaran hutan menjadi ancaman nyata. Dalam beberapa bulan terakhir saja, banyak wilayah mengalami kerusakan parah:
-
Rumah warga hancur
-
Akses pangan terputus
-
Fasilitas kesehatan lumpuh
-
Anak-anak kehilangan sekolah
-
Trauma psikologis belum tertangani
Bagi para korban, bencana bukan sekadar berita. Ia adalah kenyataan pahit yang harus dihadapi setiap hari. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran negara sangat dinanti, bukan hanya dalam bentuk bantuan darurat, tetapi juga pemulihan jangka menengah.
Gagasan Sawit untuk BBM di Papua
Di tengah kondisi tersebut, pemerintah mengangkat wacana penanaman kelapa sawit sebagai solusi swasembada energi nasional. Papua disebut sebagai wilayah strategis dengan lahan luas dan potensi besar untuk mendukung proyek ini.
Secara konsep, swasembada energi terdengar menjanjikan:
-
Mengurangi ketergantungan impor BBM
-
Mendorong kemandirian daerah
-
Membuka lapangan kerja
-
Menopang ekonomi nasional
Namun, persoalan muncul ketika kebijakan besar ini diluncurkan saat kondisi darurat kemanusiaan masih berlangsung di banyak daerah lain.
Antara Kepentingan Jangka Panjang dan Kebutuhan Mendesak
Inilah titik krusial yang dipertanyakan publik. Proyek sawit untuk energi adalah kebijakan jangka panjang. Manfaatnya tidak bisa dirasakan dalam hitungan bulan, bahkan tahun. Sementara itu, korban bencana membutuhkan bantuan sekarang.
Pertanyaan rakyat pun mengemuka:
-
Apakah negara terlalu cepat melompat ke proyek besar, sementara luka sosial belum sembuh?
-
Apakah alokasi anggaran dan perhatian pemerintah sudah seimbang?
-
Siapa yang paling diuntungkan dari proyek ini?
Bagi masyarakat terdampak bencana, wacana swasembada energi terasa jauh dari realitas hidup mereka.
Papua dan Isu Sensitivitas Sosial-Lingkungan
Papua bukan sekadar wilayah kosong yang siap dieksploitasi. Di sana hidup masyarakat adat dengan sistem sosial dan budaya yang kuat. Sejarah mencatat, proyek berskala besar kerap memicu konflik agraria, perampasan lahan, hingga kerusakan lingkungan.
Perkebunan sawit sendiri bukan tanpa masalah:
-
Deforestasi
-
Hilangnya hutan adat
-
Konflik lahan dengan masyarakat lokal
-
Dampak ekologis jangka panjang
Jika tidak dikelola dengan transparan dan partisipatif, proyek ini berpotensi menambah persoalan baru di Papua, alih-alih membawa kesejahteraan.
Suara Rakyat: “Mana yang Lebih Mendesak?”
Reaksi masyarakat di media sosial menunjukkan kegelisahan yang sama. Banyak yang tidak menolak pembangunan atau swasembada energi, tetapi mempertanyakan urutan prioritas.
Komentar publik didominasi oleh suara seperti:
-
“Tolong selesaikan dulu bencana, baru bicara proyek besar.”
-
“Rakyat masih kelaparan, rumah belum ada, kok sudah bicara sawit.”
-
“Jangan sampai Papua jadi korban proyek elite.”
Ini bukan sekadar kritik politik, tetapi jeritan warga yang merasa belum sepenuhnya dilindungi negara.
Negara Hadir: Bukan Sekadar Narasi
Kehadiran negara tidak diukur dari banyaknya program besar, tetapi dari seberapa cepat dan tepat ia menjawab penderitaan rakyat. Dalam situasi bencana, prioritas seharusnya jelas:
-
Menyelamatkan nyawa
-
Memulihkan kehidupan dasar warga
-
Menjamin rasa aman dan keadilan
Proyek jangka panjang tentu penting, tetapi tanpa kepekaan sosial, ia bisa kehilangan legitimasi publik.
Membangun Tanpa Melupakan yang Terluka
Indonesia membutuhkan energi, investasi, dan visi jangka panjang. Namun Indonesia juga membutuhkan empati, keadilan, dan keberpihakan nyata kepada korban bencana.
Pembangunan yang berkelanjutan seharusnya tidak berdiri di atas penderitaan yang belum terselesaikan. Ketika rakyat masih berjuang untuk makan dan bertahan hidup, negara dituntut untuk lebih bijak dalam menentukan arah kebijakan.
Kesimpulan: Prioritas Menentukan Kepercayaan
Wacana sawit untuk BBM di Papua membuka diskusi besar tentang arah pembangunan nasional. Apakah negara mampu menyeimbangkan ambisi jangka panjang dengan kebutuhan mendesak rakyat?
Kepercayaan publik tidak dibangun dari janji besar semata, tetapi dari tindakan nyata di saat krisis. Selama bencana belum usai dan luka sosial belum sembuh, suara rakyat akan terus bertanya:
Mana yang lebih penting saat ini — proyek besar, atau menyelamatkan manusia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar