Lintas Fakta News – portal berita viral, nasional, teknologi, dan review aplikasi penghasil uang 2025 yang terbaru dan terpercaya.

Penolakan Meluas atas Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto: “Bentuk Pemutihan Sejarah”


 JAKARTA — Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menuai penolakan luas dari berbagai kalangan masyarakat. Para penyintas Peristiwa 1965, akademisi, aktivis HAM, serta organisasi masyarakat sipil menyebut langkah ini sebagai bentuk pengingkaran terhadap sejarah kelam dan penghinaan terhadap korban pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Penolakan tersebut mengemuka dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) yang digelar di Gedung YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Menteng, Jakarta, Selasa (4/11/2025).

Mereka menegaskan, rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah upaya untuk “memutihkan sejarah” dan melupakan penderitaan jutaan rakyat yang menjadi korban represi politik selama era Orde Baru.


Suara Korban 1965: “Kami Tidak Akan Diam”

Salah satu yang hadir menyampaikan pernyataan keras adalah Utati Koesalah, penyintas Peristiwa 1965 dan mantan tahanan politik (tapol) yang pernah ditahan selama 11 tahun di Rumah Tahanan Wanita Bukit Duri.

Utati mengungkapkan bahwa dirinya mengalami penyiksaan dan diskriminasi panjang hanya karena dianggap memiliki hubungan dengan kelompok yang dituduh terlibat dalam G30S.

“Kami yang menjadi korban, disiksa tanpa pengadilan, dicap buruk, dan dipenjara tanpa bukti. Sekarang kami harus melihat pelaku utama rezim itu dijadikan pahlawan? Itu sangat menyakitkan,” ujar Utati dalam konferensi pers.

Menurutnya, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga menghapus perjuangan panjang para korban untuk mendapatkan pengakuan negara atas penderitaan mereka.

“Ini bukan sekadar simbol, tapi soal kebenaran sejarah. Jangan biarkan bangsa ini kehilangan moral dengan melupakan luka masa lalu,” tambahnya.


GEMAS: Penolakan Bukan Dendam, Tapi Tuntutan Keadilan

Koalisi GEMAS (Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto) terdiri dari berbagai unsur masyarakat, mulai dari organisasi HAM, akademisi, mahasiswa, jurnalis independen, hingga komunitas penyintas.

Dalam pernyataannya, GEMAS menegaskan bahwa penolakan ini tidak didasari kebencian, melainkan dorongan untuk menegakkan kebenaran sejarah dan menghormati para korban pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto.

“Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional seharusnya diberikan kepada mereka yang berjuang demi kemanusiaan dan keadilan, bukan kepada tokoh yang meninggalkan catatan hitam dalam sejarah bangsa,” tulis pernyataan resmi GEMAS.

Mereka menilai, langkah pemerintah ini justru mengaburkan batas antara pelaku dan korban, serta bisa menciptakan kebingungan moral bagi generasi muda.


Jejak Kelam Orde Baru: Dari Rezim Represif hingga KKN

Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto dikenal memimpin pemerintahan otoriter yang mengekang kebebasan sipil dan politik.

Rezim Orde Baru ditandai oleh:

  • Pembungkaman media dan kebebasan berpendapat.

  • Penahanan sewenang-wenang terhadap aktivis dan jurnalis.

  • Pelanggaran HAM berat, termasuk pembunuhan massal dan penghilangan paksa.

  • Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang meluas di berbagai sektor pemerintahan.

Bagi para korban dan akademisi, warisan ini tidak bisa dihapus begitu saja dengan penghargaan simbolik.

“Menghapus tiga dekade luka sosial dan represi dengan satu gelar ‘Pahlawan Nasional’ adalah bentuk ketidakadilan baru,” ujar salah satu peneliti HAM dari Universitas Gadjah Mada.


Akademisi: Negara Tak Boleh Menghapus Dosa Sejarah

Sejumlah akademisi dan sejarawan juga menyuarakan keberatan. Mereka menilai, pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional berpotensi menyesatkan pemahaman sejarah bangsa.

Sejarawan Universitas Indonesia, misalnya, menegaskan bahwa pahlawan sejati bukan hanya mereka yang pernah berkuasa, melainkan yang berjuang demi kemanusiaan dan keadilan sosial.

“Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto berarti mengaburkan tanggung jawab sejarah dan mengkhianati nilai-nilai reformasi yang lahir karena menentang rezimnya,” ujarnya.

Banyak pengamat menilai bahwa penghargaan semacam ini juga berisiko memunculkan kembali glorifikasi terhadap figur Orde Baru, padahal bangsa ini belum tuntas berdamai dengan masa lalunya.


Luka yang Belum Sembuh

Dampak pelanggaran HAM pada era Soeharto masih terasa hingga hari ini. Anak-cucu korban 1965 masih mengalami diskriminasi sosial, kesulitan administrasi, dan stigma “tidak bersih lingkungan”.

Menurut data lembaga HAM independen, ribuan penyintas masih hidup dalam kondisi miskin dan belum mendapatkan rehabilitasi ataupun pengakuan resmi dari negara.

“Kami tidak butuh permintaan maaf yang manis di depan kamera. Kami butuh keadilan dan pengakuan sejarah,” tegas Utati.


Pemerintah Diminta Dengarkan Suara Korban

GEMAS meminta Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau ulang wacana ini dan mempertimbangkan suara publik yang menolak keras langkah tersebut.

“Jika pemerintah benar ingin menghormati para pahlawan, maka hormatilah juga korban dan kebenaran sejarah,” ujar juru bicara GEMAS.

Mereka juga menegaskan bahwa penghargaan tidak boleh diberikan hanya untuk kepentingan politik atau pencitraan, melainkan berdasarkan nilai-nilai moral dan keadilan sejarah bangsa.


Refleksi: Siapa yang Layak Disebut Pahlawan?

Perdebatan tentang siapa yang pantas disebut pahlawan memang selalu muncul setiap tahun menjelang Hari Pahlawan.

Namun, kasus Soeharto membuka diskusi yang lebih dalam: apakah seseorang yang pernah berjasa di satu sisi, tetapi juga meninggalkan luka kemanusiaan di sisi lain, masih bisa disebut pahlawan nasional?

“Bangsa ini harus belajar membedakan antara jasa dan dosa sejarah,” ujar salah satu akademisi di acara diskusi publik YLBHI.

Bagi banyak kalangan, pemberian gelar kepada Soeharto justru menjadi ujian moral bagi bangsa Indonesia — apakah kita benar-benar belajar dari masa lalu atau memilih untuk melupakannya.


Kesimpulan

Penolakan terhadap gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto menegaskan bahwa luka sejarah 1965 dan era Orde Baru belum benar-benar sembuh.

Bagi para korban dan aktivis HAM, penghargaan semacam ini bukan sekadar seremoni, melainkan simbol keadilan — dan ketika simbol itu diberikan kepada tokoh yang dianggap bertanggung jawab atas penderitaan rakyat, maka artinya negara belum benar-benar berpihak kepada korban.

“Kami tidak ingin balas dendam,” kata Utati menutup konferensi pers.
“Kami hanya ingin kebenaran diakui, agar generasi berikutnya tahu siapa yang benar-benar berjuang untuk bangsa ini.”


Sumber: Media Jangkar, YLBHI, GEMAS, dan wawancara dengan penyintas Peristiwa 1965.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

📺 TV One Live Streaming

CARI BERITA DISINI

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Arsip Blog

Recent Posts

PASANG IKLAN HUBUNGI WA

📢 PASANG IKLAN DISINI

  • Banner / Teks Iklan
  • Ukuran Flexible
  • Harga Terjangkau

LADANG CUAN