Lintas Fakta News – portal berita viral, nasional, teknologi, dan review aplikasi penghasil uang 2025 yang terbaru dan terpercaya.

Buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” Kembali Mencuat: Antara Luka Sejarah, Keberanian Bicara, dan Politik yang Tak Lagi Bersama Rakyat

 

Ketika Buku Lama Jadi Cermin Politik Hari Ini

Di tengah hiruk-pikuk politik yang semakin tak berpihak pada rakyat, tiba-tiba sebuah buku lama kembali mencuat — “Aku Bangga Jadi Anak PKI” karya Ribka Tjiptaning Proletariati, politisi senior dari PDI Perjuangan.
Buku ini bukan baru, bahkan sudah terbit sejak tahun 2002. Tapi anehnya, di saat rakyat kian lelah dengan janji perubahan, buku ini kembali dibicarakan, disorot, bahkan diperdebatkan.

Apakah ini kebetulan?
Atau memang sejarah sedang memanggil bangsa ini untuk bercermin — melihat luka yang belum sembuh, dan keberanian yang jarang muncul dari mereka yang berkuasa?


📖 Isi Buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI”: Suara dari Luka yang Pernah Dibungkam

Ribka menulis buku ini bukan untuk menghidupkan ideologi komunis, tapi untuk merekam perjalanan hidupnya sebagai anak dari orang tua yang dituduh PKI.
Ia bercerita tentang stigma, diskriminasi, dan ketidakadilan yang dialami keluarganya setelah tragedi 1965.

Kata “bangga” dalam judul bukan berarti mendukung komunisme — tapi bangga karena tetap bisa bertahan hidup dengan jujur, meski dicap buruk oleh sejarah yang ia tak pilih.
Dalam salah satu bagian, Ribka menulis bahwa “menjadi anak PKI bukanlah pilihan, tapi bertahan dengan hati bersih adalah keberanian.”


⚖️ Pro dan Kontra: Antara Keberanian dan Ketakutan Kolektif

Buku ini sejak awal memicu perdebatan panjang.
Sebagian publik menilai Ribka berani, karena ia berani membuka luka bangsa yang selama ini ditutup rapat oleh ketakutan dan stigma politik.

Namun sebagian lain menilai, judul buku itu terlalu provokatif — bahkan dianggap berbahaya di tengah memori kelam bangsa tentang PKI.

Kelompok Pro menilai:

  • Buku ini adalah refleksi sejarah yang jujur.

  • Tidak ada unsur menghidupkan ideologi terlarang, hanya kesaksian pribadi.

  • Keberanian Ribka membuka ruang dialog agar bangsa bisa berdamai dengan masa lalu.

Kelompok Kontra berargumen:

  • Judulnya bisa disalahartikan publik awam.

  • Bisa menimbulkan sentimen ideologis di tengah suhu politik yang panas.

  • Penggunaan istilah “bangga” dianggap tidak sensitif terhadap korban tragedi masa lalu.


🔥 Buku Lama, Tapi Efeknya Kekinian

Menariknya, buku ini kembali mencuat di saat kepercayaan publik terhadap elit politik menurun.
Rakyat merasa dikhianati oleh janji-janji perubahan, harga-harga naik, sementara suara rakyat seolah tidak lagi punya makna.

Di tengah situasi ini, keberanian Ribka berbicara jujur lewat buku lamanya terasa relevan.
Seakan buku itu ingin bertanya pada kita semua:

“Mengapa bicara sejarah dianggap berbahaya, tapi menipu rakyat dianggap biasa?”

“Mengapa yang menyuarakan luka dianggap melawan negara, padahal yang menindas rakyat justru dilindungi oleh hukum?”


🗣️ Ribka Tjiptaning: Antara Ideologi dan Kemanusiaan

Sebagai anggota DPR dari PDI Perjuangan, Ribka sering dikenal vokal membela rakyat kecil.
Buku ini menjadi semacam otobiografi ideologis, di mana ia menegaskan bahwa kemanusiaan lebih penting dari label ideologi.

Ia juga menolak tudingan bahwa dirinya “membela PKI”, karena yang ia perjuangkan adalah kebenaran sejarah dan hak anak bangsa untuk tidak distigma.

“Saya tidak membela PKI, saya membela kebenaran,” katanya dalam beberapa wawancara lama.
“Anak PKI tidak otomatis komunis, seperti halnya anak pejabat tidak otomatis bersih dari dosa politik.”


🧩 Konteks Politik: Ketika Suara Rakyat Ditinggalkan

Buku ini juga membuka ruang refleksi di tengah situasi politik sekarang.
Ketika rakyat semakin sulit, harga naik, korupsi marak, dan pejabat sibuk saling serang — muncul pertanyaan besar:

Apakah bangsa ini benar-benar belajar dari sejarah?
Atau justru mengulang pola lama: membungkam suara yang tak sejalan dengan kekuasaan?

Buku ini mungkin bukan sekadar kisah pribadi Ribka, tapi juga simbol — simbol keberanian bicara di saat banyak yang memilih diam.


📜 Mengapa Buku Ini Relevan Hari Ini

  • Karena kita masih hidup di negeri yang takut pada masa lalu, tapi tak malu pada kebohongan hari ini.

  • Karena kita masih lebih sibuk mencari siapa “anak PKI” daripada mencari siapa yang menipu rakyat.

  • Karena suara kebenaran sering kalah oleh suara kekuasaan.

Ribka lewat bukunya seakan berkata:

“Bangsa yang takut pada sejarahnya sendiri, tidak akan pernah berani menghadapi masa depannya.”


🧠 Analisis Publik & Media Sosial

Kembalinya isu buku ini ke permukaan juga didorong oleh perdebatan warganet di media sosial.
Ada yang mengangkatnya sebagai simbol keberanian politik, ada pula yang menuduhnya sebagai “strategi mengalihkan isu”.

Di TikTok dan X (Twitter), tagar #AkuBanggaJadiAnakPKI sempat trending bersamaan dengan isu politik nasional.
Menariknya, mayoritas netizen muda justru menilai buku ini “jujur” dan “apa adanya”, sementara generasi tua lebih sensitif terhadap istilah PKI.

Artinya, kesadaran sejarah mulai bergeser — dari ketakutan menjadi keingintahuan.


📚 Kesimpulan: Buku yang Mengguncang Hati dan Nurani

Buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” bukan hanya tentang ideologi, tapi tentang hak untuk diakui sebagai manusia.
Tentang keberanian melawan stigma, dan tentang suara kecil yang menantang kekuasaan besar.

Di era politik yang makin tidak berpihak pada rakyat, buku lama ini kembali relevan — bukan karena isinya berubah, tapi karena realitas kita masih sama:
rakyat tetap berjuang sendiri, sementara kebenaran masih dianggap ancaman.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

📺 TV One Live Streaming

CARI BERITA DISINI

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Arsip Blog

Recent Posts

PASANG IKLAN HUBUNGI WA

📢 PASANG IKLAN DISINI

  • Banner / Teks Iklan
  • Ukuran Flexible
  • Harga Terjangkau

LADANG CUAN